1.
Teori Menurut Wiwit
Wahyuning Jash dan Metta Rachmadana (2003:3)
Istilah
moral jika didefinisikan akan berbunyi,”Moral berkenaan dengan norma-norma
umum, mengenai apa yang baik atau benar dalam cara hidup seseorang. Ketika
oaring-orang berbicara tentang moral, pada umumnya akan terdengar sebagai sikap
dan perbuatan seseorang terhadap orang lain.”
Cirri-ciri
anak yang memiliki nilai moral yang baik yaitu,: anak yang memiliki sikap
jujur, dapat dipercaya, lembut, penuh kasih sayang, ceria, dan dapat menghargai
orang lain.
2.
Teori Menurut Rosmala
Dewi(2005:24)
Moral
berasal dari bahasa Latin “mores”
yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat. Perilaku moral berarti perilaku
yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Perilaku tak bermoral adalah
perilaku yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
Kesimpulan
lain tentang moral, yaitu perilaku moral yang tidak dapat dipisahkan dari
proses sosialisasi yang terjadi antara mereka. Perilaku yang tak bermoral, bukan berarti perilaku yang
tidak disukai olh masyarakat, melainkan kurangnya penyesuaian diri.
3.
Teori Elizabeth B.
Hurlock
Arti
perilaku moral berarti perilaku yang sesuai denga kode moral kelompok sosial.
“Moral” berasal dari kata latin mores,
yang berarti tata cara, kebiasaan, adat. Perilaku moral dikendalikan
konsep-konsep moral, peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi
anggota suatu budaya dan yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari
seluruh anggota kelompok.
Maka
moral adalah uatu tata cara atau ajaran tentang sesuatu yang baik tau buruk.
Dalam hal ini perilaku harus dibiasakan terutama sejak usia prasekolah. Moral
terbentuk melalui pembiasaan dengan menanamkan sikap-sikap yang dianggap baik.
4.
Teori Menurut Sumadi
Suryabrata (2006:2)
Kata
watak dipakai dalam arti normatif. Kalau dengan menggunakan kata watak ini
orang bermaksud mengenakan norma-normakepada orang yang sedang diperbincangkan.
Dalam hubungan denga hal ini, orang dikatakan mempunyai watak kalu sikap,
tingkah laku, dan perbuatannya dipandang dari segi-segi norma sosial ialah
baik.
Dari
uraian diatas diambil kesimpulan watak jika diartikan dalam arti normatif yaitu
sikap, tingkah laku, dan perbuatan seseorang dipandang memiliki nilai-nilai
moral sosial dengan baik. Pembentukan watak seorang anak akan berpengaruh terhadap
akhlak, moral, budi pekerti, etika, dan estetika orang tersebut ketika
berinteraksi dan berkomunikasi denga orang lain dalam kehidupan sehari-hari
dimanapun ia berada.
5.
Teori Menurut Allport
(2006:2)
Allport
beranggapan bahwa watak dan kepribadian ialah satu dan sama, akan tetapi
dipandang dari segi yang berlainan. Kalau orang bermaksud hendak mengenakan
norma-norma, jadi mengadakan penilaian, maka lebih tepat digunakan istilah
“watak” dan kalau orang tidak memberikan penilaian, jadi menggambarkan apa
adanya, maka dipakai istilah”kepribadian.
Maka
dapat ditarik kesimpulan bahawa menurut Allport watak dan kepribadian memiliki
arti yang sama, akan tetapi memiliki arti yang berbeda jika dilihat dati sudut
pandang yang berbeda.
Watak
adalah sikap, tingkah laku seseorang yang dipandang dari norma-norma sosial.
Adapun kepribadian ialah menggambarkantingkah laku seseorang dengan apa adanya.
Adapun factor-faktor yang mempengaruhi kepribadian seseorang ialah, faktor internal yaitu faktor yang berasal
dari dalam diri orang itu sendiri. Faktor internal ini merupakan factor genetic
atau bawaan. Kedua ialah faktor eksternal,
faktor ini merupakan pengaruh yang berasal dari lingkungannya. Lingkungan
keluarga, tempat seorang anak tumbuh dan berkembang akan sangat berpengaruh
terhadap kepribadian seorang anak.
6.
Teori Menurut Irwan
Prayitno (2003:7)
Para
ilmuwan dan pendidik selama bertahun-tahun mendebatkan, tentang terbentuknya
watak. Pendapat yang menyatakan anak dilahirkan dengan membawa keturuna watak.
Cara tertentu membuat orang terlepas dari tanggung jawab dalam membantu anaknya
mengubah perilaku anak. Banyak ahli mulai menerima apa yang telah diamati orang
tua.
Faktor
keluarga lainnya ialah kelahiran jumlah saudara kandung, dan peristiwa kehidupan
seperti perpindahan, penyakit, perubahan ekonomi, keluarga, dan pekerjaan orang
tua. Kesemuannya ini berperan dalam pembentukan watak seorang anak. Bayi yang
“baik” berpotensi menjadi “musuh” jika diabaikan tau disiksa. Anak yang “sulit”
berpotensi menjadi lebih baik dengan bimbingan orang tua yang sabar.
Dari
uraian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa banyak orang tua atau
pendidik yang berpendapat bahwa watak seorang anak telah ada sejak anak itu
lahir ke dunia. Sehingga pernyataan ini membuat para orang tua atau pendidik
menjadi tidak bertanggung jawab dan tidak membantu anak untuk mengubah perilaku
yang buruk menjadi baik. Sejak lam peran orang tua sering kali tanpa dibarengi
pemahaman mendalam tentang pembentukan watak anaknya. Akibatnya, mayoritas
orang tua hanya dapat mencari kambing hitam, bahwa anaklah yang bersalah.
Seorang anak memiliki perilaku yang demikian sesungguhnya karena meniru cara
berpikir dan perbuatan yang sengaja dilakukan oleh orang tua mereka.
7.
Teori Menurut Sigmund
Freud (2006:140)
Sigmund
Freud, berpendapat bahwa watak pada dasarnya telah terbentuk pada akhir tahun
kelima dan perkembangan selanjutnya sebagian besar hanya merupakan penghalusan
struktur dasar ini. Kesimpulan yang demikian itu diambilnya atas dasar pengalamannya
Dalam
melakukan psikoanalisis. Penyelidikan dalam hal ini selalu menjurus kea rah
masa kanak-kanak, yaitu masa yang mempunyai peranan yang menentuka dalam hal
timbulnya neurosis pada tahun-tahun yang lebih kemudian. Freud beranggapan
bahwa kanak-kanak dalah ayahnya manusia (the
children is the father of man)
Menurut
pendapat Freud, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa watak seseorang mulai
terbentuk pada akhir tahun keliam. Terutama pada usia anak prasekolah, watak
mempunyai peran menentukan sikap dan perilaku seorang anak.
8.
Teori Menurut
Hetherington dan Paske (1979)
Bagi
anak usia TK, watak mengenal dan menanamkan perasaan yang dialaminya merupakan
hal yang sulit. Melaui perkembangan
selanjutnya, anak belajar bagaimana mengekspresikan perasaan, sehingga
ia dapat menyatakan perasaan yang sesuai denga usia dan situasi yang
dihadapinya. Dan juga dapat belajar menerima dan menghargai perasaan orang
lain.
Dari
pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa watak berkaitan dengan
perasaan yang dialami anak. Anak dapat belajar untuk mengekspresikan dirinya
dan dapat menyatakan perasaannya. Anak juga dilatih untuk menerima dan
menghargai perasaan orang lain. Hal ini penting karena merupakan dasar untuk
dapat menikmati keadaan dan menyadari kekuatan dirinya. Anak memiliki perasaan
bahwa dirinya dapat mengendalikan kehidupannya dan percaya terhadap
kemampuannya.
A.
Sikap dan Perilaku
Moral
Perilaku yang disebut “moralitas yang sesungguhnya” tidak
sesuai dengan standar sosial melainkan juga dilaksanakan secara sukarela. Ia
muncul bersamaan dengan peralihan kekuasaan
eksternal ke internal dan terdiri atas tingkah laku yang diatur dari dalam,
yang disertai perasaan tanggung jawab pribadi untuk tindakan masing-masing.
Pada awal-awal kehidupannya, seorang anak dibentuk oleh
nilai-nilai orang dewasa. Bahkan sebelum seorang anak dilahirkan orangtuannya
telah mengungkapkan nilai-nilai mereka dengan cara yang akan mempengaruhi
anak-anak mereka. Apabila awal masa kanak-kanak akan berakhir, konsep moral
anak tidak lagi sesempit dan sekhusus sebelumnya. Anak yang lebih besar dapat menemukan bahawa
kelompok sosial terlibat dalam berbagai tingkat kesungguhan pada berbagai macam
perbuatan.
Kebaikan seorang anak
berumur empat atau lima tahun yang baru akan masuk sekolah, suatu kuncup
kebaikan yang telah dimungkinkan, dipupuk, diizin, didorong oleh orang
tua-orang tua yang “cukup baik”. Kebaikan semacam ini mulai tampak pada
bulan-bulan pertama kehidupan dan lazimnya tidak disebut atau dipikirkan
sebagai kebaikan, melainkan sebagai “kodrat” atau “watak” si anak.
Menurut Piaget, relativisme moral menggantikan moral yang
kaku. Misalnya, pada anak usia lima tahun berbohong selalu buruk. Adapun anak
yang lebih besar sadar bahwa dalam beberapa situasi, berbohong dibenarkan. Oleh
karena itu, berbohong tidak selalu buruk.
B.
Perkembangan Moral
Perkembangan moral berkaitan dengan aturan dan konvensi
tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan
orang lain. Perkembangan moral bergantung dari perkembangan kecerdasan. Denagn
berubahnya kemampuan menangkap dan mengerti, anak-anak bergerak ke tingkat
perkemabangan moral yang lebih tinggi.
Pada waktu perkemabangan kecerdasan mencapai tingkat
kematangannya, perkembangan moral juga harus mencapai tigkat kematangannya.
Bila hal ini terjadi, individu dianggap sebagai orang yang “tidak matang secara moral”.
Sejak anak pandai berbahasa pada usia dua atau tiga tahun,
pendidikan moral berlangsung dengan pesat.
Di sekolah, guru dan anak berinteraksi denag menerapkan kaidah moral,
petunjuk moral seperti, berlaku jujur, tidak boleh bohong, tidak boleh
mengambil barang orang lain, kebiasaan mengucapkan terima kasih pada orang
lain, dan melakukan kebiasaan baik yang lain. Ini semua ditanamkan kepada anak
melalui situasi konret dalam kehidupan
sehari-hari.
Pelajaran yang diperlukan dalam pembentukan moral tidak
cukup hanya pelajaran yang menyenangkan. Tetapi juga kegagalan, kekecewaan,
ketidakberuntungan, juga pelajaran moral yang sangat mendukung pembentukan
kepribadian anak yang tangguh. Penanaman moral ini akan lebih berhasil, bila
ada perbuatan yang baik disambut dengan reaksi yang menyenangkan, seperti,
persetujuan, pujian, dukungan, dan hadiah. Sebaliknya, pada perbuatan yang
tidak baik dihubungkan dengan reaksi yang tidak menyenangkan seperti, celaan,
hukuman, dan pengasingan sementara.
Dengan demikian, lambat laun kan terbentuk kesadaran batin atau kata
hati, yang akhirnya mengganti suara guru atau orang tua dalam menilai setiap
perbuatan. Jadi, pengertian dan penilaian baik dan buruk tidak lagi datang dari luar tetapi
datang dari dalam dirinya sendiri. Ia akan merasa bangga dan bahagia jika
melakukan perbuatan baik. Sebaliknya, ia akan merasa malu dan bersalah jika ia melakukan tindakan yang kurang baik.
Dalam mempelajari sikap moral, terdapat empat pokok utama,
mempelajari pa yang diharapkan kelompok sosial dari anggotanya sebagaiman
dicantumkan dalam hukum, kebiasaan dan peraturan; mengemabngkan hati nurani;
belajar mengalami perasaan bersalah dan rasa malu jika perilaku individu tidak
sesuai dengan harapan kelompok; dan mempunyai kesempatan interaksi sosial untuk
belajar apa saja yang diharapkan anggota kelompok.
Peran yang dimainkan masing-masing pokok tersebut
digamabrkan di bawah:
1.
Peran Hukum, Kebiasaan,
dan Peraturan dalam Perkembangan Moral
Pokok
pertama yang penting ialah belajar apa yang diharapkan kelompok dari
anggotanya. Harapan ini diperinci bagi seluruh anggota kelompok dalam bentuk
hukum, kebiasaan dan peraturan.
Anak
kecil tidak dituntut tunduk pada hukum dan kebiasaan seperti dituntut dari anak
yang lebih besar. Tetapi setelah mereka mencapai usia sekolah, mereka secara
bertahap diajari hukum yang berlaku.
Secara
bertahap anak belajar peraturan ayng ditentukan berbagai kelompok, yaitu
kelompok tempat mereka mengidentifikasi diri (rumah, sekolah, dan lingkungan).
Jadi, peraturan berfungsi sebagai sumber motivasi untuk bertindak sesuai denagn
harapan sosial, sebagaimana hukum dan kebiasaan menjadi pedoman dan sumber
motivasi bagi anak remaja dan orang
dewasa.
2.
Peran Hati Nurani
dalam Perkembangan Moral
Pengembangan
hati nurani sebagai kendali internal bagi perilaku individu. Menurut tradisi,
anak dilahirkan dengan “hati nurani,” atau kemampuan untuk mengetahui apa yang
benar dan salah.
Sekarang
telah diterima secara luas bahwa tidak seorang anakpun dilahirkan denagn hati
nurani dan bahwa setiap anak yang tidak saja harus belajar apa yang benar dan
salah, tetapi juga harus menggunakan hati nurani sebagai pengendali perilaku.
Ini dianggap sebagai salah satu tugas perkembangan yang penting di masa
kanak-kanak. Hati nurani juga dikenal dengan sebutan “cahaya dari dalam”,
“super ego”, dan “polosi internal”.
3.
Peran Rasa Bersalah
dan Rasa Malu dalam perkembangan Moral.
Setelah
anak mengemabangkan hati nurani, hati nurani mereka dibawa dan digunakan
sebagai pedoman perilaku. Bila perilaku anak tidak memenuhi standar yang
ditetapkan hati nurani, anak merasa bersalah, malu, atau kedua-duanya.
Rasa
bersalah telah dijelaskan sebagai “sejenis evaluasi diri khusus yang
negative yang terjadi bila seorang individu mengakui bahwa perilakunya berbeda
dengan nilai moral yang dirasakannya wajib untuk dipenuhi.” Anak yang merasa
bersalah, telah menagkui pada dirinya bahwa perilakunya jatuh dibawah standar
yang ditetapkannya sendiri. Tetapi sebelum rasa bersalah dialami, empat kondisi
ini harus dipenuhi; pertama,anak-anak harus menerima standar tertentu mengenai hal
yang benar dan salah. Kedua, mereka harus menerima kewajiban mengatur
perilaku mereka agar sesuai dengan standar yang telah mereka terima. Ketiga, mereka harus merasa bertanggung
jawab atas setiap penyelewengan dari standar tersebut dan mengakui bahwa
mereka, dan bukan orang lain yang harus disalahkan. Dan keempat,mereka harus memiliki kemampuan mengkritik diri yang cukup
besar untuk menyadari bahwa suatu ketidaksesuaian antara pelaku mereka dan
setandar internal perilaku yang terjadi.
Rasa malu
telah denifisika sebagai reaksi emmosional yang tidak menyenangkan yang timbul
pada seseorang akibat adanya penilaian negatif terhadap dirinya. Rasa bersalah
merupakan salah satu mekanisme psikologi yang paling penting dalam proses
sosialisasi, bila anak tidak merasa bersalah, ia tidak akan merasa terdorong untuk
belajar apa yang mengharapkan kelompok sosialnya.
4.
Peran Interaksi
Sosial dalam Perkembangan Moral
Interaksi
sosial memegang peran penting dalam perkembangan moral; pertama dengan memberi anak standar perilaku setujui kelompok
sosialnya dan kedua, dengan member
mereka sumber motivasi untuk mengikuti standar ini melalui persetujuan dan
ketidaksetujuan sosial.
Interaksi
sosial awal terjadi dalam kelompok keluarga. Anak belajar dari orang lain,
saudara kandung, dan anggota keluarga lain apa yang di anggap benar dan salah
oleh kelompok sosial tersebut. Waktu anak-anak sekolah, mereka belajar bahwa
tingkah laku mereka dikendalikan oleh pereturan sekolah.
Melalui
interaksi sosial, anak tidak saja mempunyai kesempatan untuk belajar kode
moral, tetapi mereka juga mendapat kesempatan untuk belajar bagainmana orang
lain mengevaluasi perilaku mereka.
Bila
anak-anak diterima secara baik oleh teman-teman sebayanya maka interaksi sosial
mereka meningkat. Ini memberikan kesempatan belajar kode moral dan motivasi
untuk menyesuaikan dengan kode tersebut. Anak yang kurang diterima atau ditolak
dan diabaikan dengan teman sebayanya akan kehilangan kesempatan belajar kode
moral kelompok dan sering dianggap tidak matang secara moral.
C.
Tahapan-tahapan
Perkembangan Moral
Pergertian moral mengacu pada aturan umun mengenai
baik-buruk dab benar-salah yang berlaku di masyarakat secara luas. Istilah
moral ini berkenaan dengan bagaimana orang seharusnya brperilaku dengan dunia
sosialnya. Perubahan dalam hal pengetahuan dan pemahaman aturan ini dipandang
sebagai perkembangan moral.
Di bidang psikologi sebenarnya telah banyak tokoh dengan
pendekatannya masing-masing yang mempelajari dan menjelaskan fenomena
perkembangan moral ini. Satu diantaranya ialah pendekatan kognitif yang
dipelopori oleh Piaget dan Lowrence Kohlberg. Pandangan kedua tokoh ini banyak
menjadi rujukan dalam pendidikan moral bagi anak.
1.
Tahapan Perkembangan
Moral Anak Menurut Piaget
Ketika
menganalisis gejala perkembangan moral anak, Piaget memfokuskan diri pada aspek
cara berpikir anak tentang isu-isu moral. Cara yang dilakukannya ialah dengan
mengamati dan mewawancarai kelompok anak-anak yang terlibat dalam suatu
permaianan. Ia mempelajari bagaimana anak-anak ini menggunakan dan memandang
aturan yang ada dalam permainan ini. Pertanyaan yang diajukan kepada mereka
berkisar tentang isu-isu moral seperti pencurian, berbohong, hukuman, dan
keadilan.
Piaget
menyimpulkan bahwa anak berpikir tentang moralitas dalam dua tahap moralitas,
tergantung pada tingkat perkembangannya. Cara/ tahap yang pertama ialah tahap moralitas heternomus (heternomus
morality) yang terjadi pada anak berusia empat sampai tujuh tahun. Pada
tahap perkembangan moral ini, anak menganggap keadilan dan aturan sebagai
sifat-sifat dunia (lingkungan) yang tidak berubah dan lepas dari kendali
manusia.
Cara/tahap
kedua, anak telah menyadari bahwa
aturan dan hukum itu diciptakan oleh manusia. Pola pemikiran moral tahap ini
oleh Piaget diistilahkan denagn moralitas otonomus (autonomous morality).
Pada
tahap heteronomous, anak menimbang perilaku
benar dan baik dengan menimbang akibat dari perilaku itu, bukan dari maksud
pelaku. Misalnya, anak yang berada pada tahap ini akan mengatakan bahwa
memecahkan lima piring secara tidak sengaja akan lebih kelek daripada
memecahkan satu piring dengan sengaja. Tetapi bagi anak yang berpikir moral
otonomus, yang lebih baik itu ialah yang memecahkan lima piring Karena hal itu
dilakukan secara tidak sengaja. Bagi anak yang berpikir moral otonomus, maksud
atau niat pelaku yang ada di balik tindakannya dipandang lebih penting daripada
sekadar akibatnya.
Anak-anak
yang berpikir moral heteronomous juga
meyakini bahwa aturan itu ditentukan oleh para pemegang otoritas yang memiliki
kekuatan sehingga tidak dapat diubah. Sebaliknya, kelompok anak yang berpikir otonomus memandang bahwa aturan itu
hanya berupa kesepakatan belaka. Kesepakatan sosial atau kelompok yang dapat
diubah melalui konsensus.
Selanjutnya,
anak yang berpikir heteronomous juga meyakini bahwa keadilan sebagai sesuatu
yang tetap ada. Piaget mengistilahkan dengan immanent justice, yaitu jika aturan dilanggar maka hukuman akan
ditimpakan segera. Anak yang berpikir heteronomous
meyakini bahwa kejahatan secara otomatis terkait dengan hukuman. Sebaliknya,
anak yang berpikir otonomus
menganggap hukuman sebagai alat sosial yang dapat dialami dan dapat pula tidak,
tergantung kepada kondisinya.
Piaget
berpendapat bahwa disaat anak-anak berkembang, mereka mengalami kemajuan dalam
pemahaman tentang masalah-masalah sosial. Pemahaman sosial ini muncul melaui
interaksi atau saling menerima dan member dalam hubungan teman sebaya. Mereka
secara leluasa dapat saling member masukan dan bernegosiasi dalam memecahkan
berbagai persoalan yang muncul. Pengalaman tentu merupakan kondisi yang
kondusif bagi pengembangan moral anak.
Suasana
interaksional seperti dalam kelompok teman sebaya diatas, menurut Piaget sulit
ditemukan dalam hubungan orang tua-anak atau hubungan guru-anak, orang tua atau
guru, lazimnya memiliki kekuasaan yang lebih daripada anak sehingga aturan-aturan
sering ditentukan secara otoriter, akibatnya, pola interaksi orang tua-anak
atau guru-anak yang demikian kurang memungkinkan untuk meningkatkan penalaran
moral anak secara baik.
Piaget percaya
bahwa anak-anak kecil ditandai oleh moralitas heteronom, tetapi pada usia 10
tahun mereka beralih ke suatu tahap yang lebih tinggi yang disebut moralitas
otonom. Menurut Piaget, anak-anak yang lebih tua yang memperhitungkan
maksud-maksud individu, percaya bahwa aturan dapat berubah, dan sadar bahwa
hukuman tidak selalu menyertai suatu perbuatan yang salah. Perspektif kognitif
penting kedua dalam perkembangan moral dikemukakan oleh Lowrence Kohlberg.
0 komentar:
Posting Komentar