Rabu, 02 Oktober 2013

Moral

1.     Teori Menurut Wiwit Wahyuning Jash dan Metta Rachmadana (2003:3)

Istilah moral jika didefinisikan akan berbunyi,”Moral berkenaan dengan norma-norma umum, mengenai apa yang baik atau benar dalam cara hidup seseorang. Ketika oaring-orang berbicara tentang moral, pada umumnya akan terdengar sebagai sikap dan perbuatan seseorang terhadap orang lain.”

Cirri-ciri anak yang memiliki nilai moral yang baik yaitu,: anak yang memiliki sikap jujur, dapat dipercaya, lembut, penuh kasih sayang, ceria, dan dapat menghargai orang lain.

2.     Teori Menurut Rosmala Dewi(2005:24)

Moral berasal dari bahasa Latin “mores” yang berarti tata cara, kebiasaan, dan adat. Perilaku moral berarti perilaku yang sesuai dengan kode moral kelompok sosial. Perilaku tak bermoral adalah perilaku yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat.

Kesimpulan lain tentang moral, yaitu perilaku moral yang tidak dapat dipisahkan dari proses sosialisasi yang terjadi antara mereka. Perilaku yang  tak bermoral, bukan berarti perilaku yang tidak disukai olh masyarakat, melainkan kurangnya penyesuaian diri.

3.     Teori Elizabeth B. Hurlock

Arti perilaku moral berarti perilaku yang sesuai denga kode moral kelompok sosial. “Moral” berasal dari kata latin mores, yang berarti tata cara, kebiasaan, adat. Perilaku moral dikendalikan konsep-konsep moral, peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya dan yang menentukan pola perilaku yang diharapkan dari seluruh anggota kelompok.

Maka moral adalah uatu tata cara atau ajaran tentang sesuatu yang baik tau buruk. Dalam hal ini perilaku harus dibiasakan terutama sejak usia prasekolah. Moral terbentuk melalui pembiasaan dengan menanamkan sikap-sikap yang dianggap baik.

4.     Teori Menurut Sumadi Suryabrata (2006:2)

Kata watak dipakai dalam arti normatif. Kalau dengan menggunakan kata watak ini orang bermaksud mengenakan norma-normakepada orang yang sedang diperbincangkan. Dalam hubungan denga hal ini, orang dikatakan mempunyai watak kalu sikap, tingkah laku, dan perbuatannya dipandang dari segi-segi norma sosial ialah baik.

Dari uraian diatas diambil kesimpulan watak jika diartikan dalam arti normatif yaitu sikap, tingkah laku, dan perbuatan seseorang dipandang memiliki nilai-nilai moral sosial dengan baik. Pembentukan watak seorang anak akan berpengaruh terhadap akhlak, moral, budi pekerti, etika, dan estetika orang tersebut ketika berinteraksi dan berkomunikasi denga orang lain dalam kehidupan sehari-hari dimanapun ia berada.

5.     Teori Menurut Allport (2006:2)

Allport beranggapan bahwa watak dan kepribadian ialah satu dan sama, akan tetapi dipandang dari segi yang berlainan. Kalau orang bermaksud hendak mengenakan norma-norma, jadi mengadakan penilaian, maka lebih tepat digunakan istilah “watak” dan kalau orang tidak memberikan penilaian, jadi menggambarkan apa adanya, maka dipakai istilah”kepribadian.

Maka dapat ditarik kesimpulan bahawa menurut Allport watak dan kepribadian memiliki arti yang sama, akan tetapi memiliki arti yang berbeda jika dilihat dati sudut pandang yang berbeda.

Watak adalah sikap, tingkah laku seseorang yang dipandang dari norma-norma sosial. Adapun kepribadian ialah menggambarkantingkah laku seseorang dengan apa adanya. Adapun factor-faktor yang mempengaruhi kepribadian seseorang ialah, faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam diri orang itu sendiri. Faktor internal ini merupakan factor genetic atau bawaan. Kedua ialah faktor eksternal, faktor ini merupakan pengaruh yang berasal dari lingkungannya. Lingkungan keluarga, tempat seorang anak tumbuh dan berkembang akan sangat berpengaruh terhadap kepribadian seorang anak.

6.     Teori Menurut Irwan Prayitno (2003:7)

Para ilmuwan dan pendidik selama bertahun-tahun mendebatkan, tentang terbentuknya watak. Pendapat yang menyatakan anak dilahirkan dengan membawa keturuna watak. Cara tertentu membuat orang terlepas dari tanggung jawab dalam membantu anaknya mengubah perilaku anak. Banyak ahli mulai menerima apa yang telah diamati orang tua.

Faktor keluarga lainnya ialah kelahiran jumlah saudara kandung, dan peristiwa kehidupan seperti perpindahan, penyakit, perubahan ekonomi, keluarga, dan pekerjaan orang tua. Kesemuannya ini berperan dalam pembentukan watak seorang anak. Bayi yang “baik” berpotensi menjadi “musuh” jika diabaikan tau disiksa. Anak yang “sulit” berpotensi menjadi lebih baik dengan bimbingan orang tua yang sabar.

  Dari uraian tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan, bahwa banyak orang tua atau pendidik yang berpendapat bahwa watak seorang anak telah ada sejak anak itu lahir ke dunia. Sehingga pernyataan ini membuat para orang tua atau pendidik menjadi tidak bertanggung jawab dan tidak membantu anak untuk mengubah perilaku yang buruk menjadi baik. Sejak lam peran orang tua sering kali tanpa dibarengi pemahaman mendalam tentang pembentukan watak anaknya. Akibatnya, mayoritas orang tua hanya dapat mencari kambing hitam, bahwa anaklah yang bersalah. Seorang anak memiliki perilaku yang demikian sesungguhnya karena meniru cara berpikir dan perbuatan yang sengaja dilakukan oleh orang tua mereka.

7.     Teori Menurut Sigmund Freud (2006:140)

Sigmund Freud, berpendapat bahwa watak pada dasarnya telah terbentuk pada akhir tahun kelima dan perkembangan selanjutnya sebagian besar hanya merupakan penghalusan struktur dasar ini. Kesimpulan yang demikian itu diambilnya atas dasar pengalamannya
Dalam melakukan psikoanalisis. Penyelidikan dalam hal ini selalu menjurus kea rah masa kanak-kanak, yaitu masa yang mempunyai peranan yang menentuka dalam hal timbulnya neurosis pada tahun-tahun yang lebih kemudian. Freud beranggapan bahwa kanak-kanak dalah ayahnya manusia (the children is the father of man)

Menurut pendapat Freud, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa watak seseorang mulai terbentuk pada akhir tahun keliam. Terutama pada usia anak prasekolah, watak mempunyai peran menentukan sikap dan perilaku seorang anak.

8.     Teori Menurut Hetherington dan Paske (1979)

Bagi anak usia TK, watak mengenal dan menanamkan perasaan yang dialaminya merupakan hal yang sulit. Melaui perkembangan  selanjutnya, anak belajar bagaimana mengekspresikan perasaan, sehingga ia dapat menyatakan perasaan yang sesuai denga usia dan situasi yang dihadapinya. Dan juga dapat belajar menerima dan menghargai perasaan orang lain.

Dari pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa watak berkaitan dengan perasaan yang dialami anak. Anak dapat belajar untuk mengekspresikan dirinya dan dapat menyatakan perasaannya. Anak juga dilatih untuk menerima dan menghargai perasaan orang lain. Hal ini penting karena merupakan dasar untuk dapat menikmati keadaan dan menyadari kekuatan dirinya. Anak memiliki perasaan bahwa dirinya dapat mengendalikan kehidupannya dan percaya terhadap kemampuannya.

A.    Sikap dan Perilaku Moral

Perilaku yang disebut “moralitas yang sesungguhnya” tidak sesuai dengan standar sosial melainkan juga dilaksanakan secara sukarela. Ia muncul bersamaan dengan peralihan kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri atas tingkah laku yang diatur dari dalam, yang disertai perasaan tanggung jawab pribadi untuk tindakan masing-masing.

Pada awal-awal kehidupannya, seorang anak dibentuk oleh nilai-nilai orang dewasa. Bahkan sebelum seorang anak dilahirkan orangtuannya telah mengungkapkan nilai-nilai mereka dengan cara yang akan mempengaruhi anak-anak mereka. Apabila awal masa kanak-kanak akan berakhir, konsep moral anak tidak lagi sesempit dan sekhusus sebelumnya.  Anak yang lebih besar dapat menemukan bahawa kelompok sosial terlibat dalam berbagai tingkat kesungguhan pada berbagai macam perbuatan.

Kebaikan seorang anak  berumur empat atau lima tahun yang baru akan masuk sekolah, suatu kuncup kebaikan yang telah dimungkinkan, dipupuk, diizin, didorong oleh orang tua-orang tua yang “cukup baik”. Kebaikan semacam ini mulai tampak pada bulan-bulan pertama kehidupan dan lazimnya tidak disebut atau dipikirkan sebagai kebaikan, melainkan sebagai “kodrat” atau “watak” si anak.

Menurut Piaget, relativisme moral menggantikan moral yang kaku. Misalnya, pada anak usia lima tahun berbohong selalu buruk. Adapun anak yang lebih besar sadar bahwa dalam beberapa situasi, berbohong dibenarkan. Oleh karena itu, berbohong tidak selalu buruk.

B.     Perkembangan Moral

Perkembangan moral berkaitan dengan aturan dan konvensi tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain. Perkembangan moral bergantung dari perkembangan kecerdasan. Denagn berubahnya kemampuan menangkap dan mengerti, anak-anak bergerak ke tingkat perkemabangan moral yang lebih tinggi.

Pada waktu perkemabangan kecerdasan mencapai tingkat kematangannya, perkembangan moral juga harus mencapai tigkat kematangannya. Bila hal ini terjadi, individu dianggap sebagai orang yang “tidak matang secara moral”.

Sejak anak pandai berbahasa pada usia dua atau tiga tahun, pendidikan moral berlangsung dengan pesat.  Di sekolah, guru dan anak berinteraksi denag menerapkan kaidah moral, petunjuk moral seperti, berlaku jujur, tidak boleh bohong, tidak boleh mengambil barang orang lain, kebiasaan mengucapkan terima kasih pada orang lain, dan melakukan kebiasaan baik yang lain. Ini semua ditanamkan kepada anak melalui situasi konret dalam kehidupan  sehari-hari.

Pelajaran yang diperlukan dalam pembentukan moral tidak cukup hanya pelajaran yang menyenangkan. Tetapi juga kegagalan, kekecewaan, ketidakberuntungan, juga pelajaran moral yang sangat mendukung pembentukan kepribadian anak yang tangguh. Penanaman moral ini akan lebih berhasil, bila ada perbuatan yang baik disambut dengan reaksi yang menyenangkan, seperti, persetujuan, pujian, dukungan, dan hadiah. Sebaliknya, pada perbuatan yang tidak baik dihubungkan dengan reaksi yang tidak menyenangkan seperti, celaan, hukuman, dan pengasingan sementara.  Dengan demikian, lambat laun kan terbentuk kesadaran batin atau kata hati, yang akhirnya mengganti suara guru atau orang tua dalam menilai setiap perbuatan. Jadi, pengertian dan penilaian baik dan  buruk tidak lagi datang dari luar tetapi datang dari dalam dirinya sendiri. Ia akan merasa bangga dan bahagia jika melakukan perbuatan baik. Sebaliknya, ia akan merasa malu dan bersalah jika ia melakukan  tindakan yang kurang baik.

Dalam mempelajari sikap moral, terdapat empat pokok utama, mempelajari pa yang diharapkan kelompok sosial dari anggotanya sebagaiman dicantumkan dalam hukum, kebiasaan dan peraturan; mengemabngkan hati nurani; belajar mengalami perasaan bersalah dan rasa malu jika perilaku individu tidak sesuai dengan harapan kelompok; dan mempunyai kesempatan interaksi sosial untuk belajar apa saja yang diharapkan anggota kelompok.





Peran yang dimainkan masing-masing pokok tersebut digamabrkan di bawah:

1.     Peran Hukum, Kebiasaan, dan Peraturan dalam Perkembangan Moral

Pokok pertama yang penting ialah belajar apa yang diharapkan kelompok dari anggotanya. Harapan ini diperinci bagi seluruh anggota kelompok dalam bentuk hukum, kebiasaan dan peraturan.

Anak kecil tidak dituntut tunduk pada hukum dan kebiasaan seperti dituntut dari anak yang lebih besar. Tetapi setelah mereka mencapai usia sekolah, mereka secara bertahap diajari hukum yang berlaku.

Secara bertahap anak belajar peraturan ayng ditentukan berbagai kelompok, yaitu kelompok tempat mereka mengidentifikasi diri (rumah, sekolah, dan lingkungan). Jadi, peraturan berfungsi sebagai sumber motivasi untuk bertindak sesuai denagn harapan sosial, sebagaimana hukum dan kebiasaan menjadi pedoman dan sumber motivasi  bagi anak remaja dan orang dewasa.

2.     Peran Hati Nurani dalam Perkembangan Moral

Pengembangan hati nurani sebagai kendali internal bagi perilaku individu. Menurut tradisi, anak dilahirkan dengan “hati nurani,” atau kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan salah.

Sekarang telah diterima secara luas bahwa tidak seorang anakpun dilahirkan denagn hati nurani dan bahwa setiap anak yang tidak saja harus belajar apa yang benar dan salah, tetapi juga harus menggunakan hati nurani sebagai pengendali perilaku. Ini dianggap sebagai salah satu tugas perkembangan yang penting di masa kanak-kanak. Hati nurani juga dikenal dengan sebutan “cahaya dari dalam”, “super ego”, dan “polosi internal”.




3.     Peran Rasa Bersalah dan Rasa Malu dalam perkembangan Moral.

Setelah anak mengemabangkan hati nurani, hati nurani mereka dibawa dan digunakan sebagai pedoman perilaku. Bila perilaku anak tidak memenuhi standar yang ditetapkan hati nurani, anak merasa bersalah, malu, atau kedua-duanya.

 Rasa bersalah telah dijelaskan sebagai “sejenis evaluasi diri khusus yang negative yang terjadi bila seorang individu mengakui bahwa perilakunya berbeda dengan nilai moral yang dirasakannya wajib untuk dipenuhi.” Anak yang merasa bersalah, telah menagkui pada dirinya bahwa perilakunya jatuh dibawah standar yang ditetapkannya sendiri. Tetapi sebelum rasa bersalah dialami, empat kondisi ini harus dipenuhi; pertama,anak-anak  harus menerima standar tertentu mengenai hal yang benar dan salah. Kedua,  mereka harus menerima kewajiban mengatur perilaku mereka agar sesuai dengan standar yang telah mereka terima. Ketiga, mereka harus merasa bertanggung jawab atas setiap penyelewengan dari standar tersebut dan mengakui bahwa mereka, dan bukan orang lain yang harus disalahkan. Dan keempat,mereka harus memiliki kemampuan mengkritik diri yang cukup besar untuk menyadari bahwa suatu ketidaksesuaian antara pelaku mereka dan setandar internal perilaku yang terjadi.

Rasa malu telah denifisika sebagai reaksi emmosional yang tidak menyenangkan yang timbul pada seseorang akibat adanya penilaian negatif terhadap dirinya. Rasa bersalah merupakan salah satu mekanisme psikologi yang paling penting dalam proses sosialisasi, bila anak tidak merasa bersalah, ia tidak akan merasa terdorong untuk belajar apa yang mengharapkan kelompok sosialnya.

4.     Peran Interaksi Sosial dalam Perkembangan Moral

Interaksi sosial memegang peran penting dalam perkembangan moral; pertama dengan memberi anak standar perilaku setujui kelompok sosialnya dan kedua, dengan member mereka sumber motivasi untuk mengikuti standar ini melalui persetujuan dan ketidaksetujuan sosial.

Interaksi sosial awal terjadi dalam kelompok keluarga. Anak belajar dari orang lain, saudara kandung, dan anggota keluarga lain apa yang di anggap benar dan salah oleh kelompok sosial tersebut. Waktu anak-anak sekolah, mereka belajar bahwa tingkah laku mereka dikendalikan oleh pereturan sekolah.

Melalui interaksi sosial, anak tidak saja mempunyai kesempatan untuk belajar kode moral, tetapi mereka juga mendapat kesempatan untuk belajar bagainmana orang lain mengevaluasi perilaku mereka.

Bila anak-anak diterima secara baik oleh teman-teman sebayanya maka interaksi sosial mereka meningkat. Ini memberikan kesempatan belajar kode moral dan motivasi untuk menyesuaikan dengan kode tersebut. Anak yang kurang diterima atau ditolak dan diabaikan dengan teman sebayanya akan kehilangan kesempatan belajar kode moral kelompok dan sering dianggap tidak matang secara moral.

C.     Tahapan-tahapan Perkembangan Moral

Pergertian moral mengacu pada aturan umun mengenai baik-buruk dab benar-salah yang berlaku di masyarakat secara luas. Istilah moral ini berkenaan dengan bagaimana orang seharusnya brperilaku dengan dunia sosialnya. Perubahan dalam hal pengetahuan dan pemahaman aturan ini dipandang sebagai perkembangan moral.

Di bidang psikologi sebenarnya telah banyak tokoh dengan pendekatannya masing-masing yang mempelajari dan menjelaskan fenomena perkembangan moral ini. Satu diantaranya ialah pendekatan kognitif yang dipelopori oleh Piaget dan Lowrence Kohlberg. Pandangan kedua tokoh ini banyak menjadi rujukan dalam pendidikan moral bagi anak.

1.     Tahapan Perkembangan Moral Anak Menurut Piaget

Ketika menganalisis gejala perkembangan moral anak, Piaget memfokuskan diri pada aspek cara berpikir anak tentang isu-isu moral. Cara yang dilakukannya ialah dengan mengamati dan mewawancarai kelompok anak-anak yang terlibat dalam suatu permaianan. Ia mempelajari bagaimana anak-anak ini menggunakan dan memandang aturan yang ada dalam permainan ini. Pertanyaan yang diajukan kepada mereka berkisar tentang isu-isu moral seperti pencurian, berbohong, hukuman, dan keadilan.

Piaget menyimpulkan bahwa anak berpikir tentang moralitas dalam dua tahap moralitas, tergantung pada tingkat perkembangannya. Cara/ tahap yang pertama ialah tahap moralitas heternomus  (heternomus morality) yang terjadi pada anak berusia empat sampai tujuh tahun. Pada tahap perkembangan moral ini, anak menganggap keadilan dan aturan sebagai sifat-sifat dunia (lingkungan) yang tidak berubah dan lepas dari kendali manusia.

Cara/tahap kedua, anak telah menyadari bahwa aturan dan hukum itu diciptakan oleh manusia. Pola pemikiran moral tahap ini oleh Piaget diistilahkan denagn moralitas otonomus (autonomous morality).

Pada tahap heteronomous, anak menimbang perilaku benar dan baik dengan menimbang akibat dari perilaku itu, bukan dari maksud pelaku. Misalnya, anak yang berada pada tahap ini akan mengatakan bahwa memecahkan lima piring secara tidak sengaja akan lebih kelek daripada memecahkan satu piring dengan sengaja. Tetapi bagi anak yang berpikir moral otonomus, yang lebih baik itu ialah yang memecahkan lima piring Karena hal itu dilakukan secara tidak sengaja. Bagi anak yang berpikir moral otonomus, maksud atau niat pelaku yang ada di balik tindakannya dipandang lebih penting daripada sekadar akibatnya.

Anak-anak yang berpikir moral heteronomous juga meyakini bahwa aturan itu ditentukan oleh para pemegang otoritas yang memiliki kekuatan sehingga tidak dapat diubah. Sebaliknya, kelompok anak yang berpikir otonomus memandang bahwa aturan itu hanya berupa kesepakatan belaka. Kesepakatan sosial atau kelompok yang dapat diubah melalui konsensus.

Selanjutnya, anak yang berpikir  heteronomous  juga meyakini bahwa keadilan sebagai sesuatu yang tetap ada. Piaget mengistilahkan dengan immanent justice, yaitu jika aturan dilanggar maka hukuman akan ditimpakan segera. Anak yang berpikir heteronomous meyakini bahwa kejahatan secara otomatis terkait dengan hukuman. Sebaliknya, anak yang berpikir otonomus menganggap hukuman sebagai alat sosial yang dapat dialami dan dapat pula tidak, tergantung kepada kondisinya.

Piaget berpendapat bahwa disaat anak-anak berkembang, mereka mengalami kemajuan dalam pemahaman tentang masalah-masalah sosial. Pemahaman sosial ini muncul melaui interaksi atau saling menerima dan member dalam hubungan teman sebaya. Mereka secara leluasa dapat saling member masukan dan bernegosiasi dalam memecahkan berbagai persoalan yang muncul. Pengalaman tentu merupakan kondisi yang kondusif bagi pengembangan moral anak.

Suasana interaksional seperti dalam kelompok teman sebaya diatas, menurut Piaget sulit ditemukan dalam hubungan orang tua-anak atau hubungan guru-anak, orang tua atau guru, lazimnya memiliki kekuasaan yang lebih daripada anak sehingga aturan-aturan sering ditentukan secara otoriter, akibatnya, pola interaksi orang tua-anak atau guru-anak yang demikian kurang memungkinkan untuk meningkatkan penalaran moral anak secara baik.


Piaget percaya bahwa anak-anak kecil ditandai oleh moralitas heteronom, tetapi pada usia 10 tahun mereka beralih ke suatu tahap yang lebih tinggi yang disebut moralitas otonom. Menurut Piaget, anak-anak yang lebih tua yang memperhitungkan maksud-maksud individu, percaya bahwa aturan dapat berubah, dan sadar bahwa hukuman tidak selalu menyertai suatu perbuatan yang salah. Perspektif kognitif penting kedua dalam perkembangan moral dikemukakan oleh Lowrence Kohlberg.   

0 komentar:

Posting Komentar